Member-only story
Apakah Kita Masih Mencintai, atau Sekadar Mengonsumsi?
Cinta dalam Dunia Kapitalisme
Ada hal-hal yang dulu tumbuh perlahan. Termasuk cinta. Ia hadir sebagai keberanian untuk bertahan, bukan sebagai hasil swipe kanan atau bio yang terdengar “soulful.”
Apakah kita masih benar-benar mencintai, atau hanya mempraktikkan konsumsi emosional yang dibungkus dengan romantisme?
Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini.
Cinta Sebagai Komoditas
Kita hidup dalam sistem yang menuntut segala sesuatu memiliki nilai tukar. Waktu adalah uang. Emosi pun sekarang harus produktif. Kita diminta “mencintai dengan sehat”, tapi dalam praktiknya justru belajar menyensor luka agar tetap terlihat layak dicintai.
Kita memasarkan diri seperti produk: tampil menarik, sedikit misterius, sedikit rusak — tapi dengan packaging yang estetik. Kita belajar menyampaikan rasa bukan dari tubuh atau tatapan, tapi dari algoritma dan notifikasi.
Saya jadi ingat The Great Gatsby. Gatsby tidak mencintai Daisy. Ia mencintai ide tentang Daisy. Dan ide itu tumbuh dari ilusi kemewahan, status sosial, dan bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar ada. Seperti kita hari ini: mencintai seseorang yang hanya kita kenal dari highlight story mereka.