Member-only story
Cermin Retak di Dalam Kepala: Siapa Korban Sebenarnya?
Realita tak selalu sesuai dengan narasi yang kita cipta
Narasi Diri yang Disunting Diam-diam
Saya pernah merasa diperlakukan tidak adil. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Setiap konflik saya bungkus dalam narasi: bahwa saya adalah korban. Cerita saya lancar. Saya hafal setiap kalimat, setiap titik air mata, setiap jeda kesedihan.
Tapi yang tak saya sadari waktu itu — barangkali saya sedang menyunting narasi hidup saya, seperti editor yang menyensor bagian-bagian yang terlalu menyakitkan untuk diakui. Bagian di mana saya mungkin sebenarnya menyakiti lebih dulu, atau membiarkan luka itu tumbuh karena enggan menyelesaikannya.
Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini
Ini bukan semata tentang ego, tapi tentang keinginan kita yang purba: menjadi pihak yang dipahami. Menjadi korban memberi kita rasa benar, rasa aman, dan paling berbahaya — rasa identitas.
Ya, seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, manusia tak tahan pada kebenaran yang telanjang. Maka kita rawatlah versi setengah kebenaran itu. Kita akrabi peran sebagai korban karena itu membuat kita tetap hidup dalam drama yang kita sutradarai sendiri.