Member-only story
Korek Api yang Selalu Dihidupkan, Tapi Tak Pernah Dipakai
Cahaya sekejap, hilang tanpa jejak
Ceklek. Nyala. Ceklek. Padam.
Saya duduk di kedai kopi sudut kota, memperhatikan pria di meja seberang. Ia memainkan korek api dengan ritme yang hampir hipnotik. Api kecil itu menyala sebentar, lalu padam dalam sekejap. Bukan karena angin, bukan karena gagal menyala, tapi karena jari-jarinya sendiri yang memutuskan untuk mematikannya.
Menyalakan. Mematikan. Berulang kali.
Tak ada rokok di tangannya, tak ada lilin di meja, dan tak ada kebutuhan lain yang membuat api kecil itu berguna. Tapi tetap saja, ia menyalakan dan mematikannya. Seperti kebiasaan lama yang dilakukan tanpa berpikir. Seperti orang yang sedang mengisi waktu, atau lebih tepatnya, seperti orang yang pikirannya sedang tak berada di tempat ini.
Ah, kebiasaan lama saya juga — menebak-nebak ucapan mata seseorang.
Tapi, siapa saya hingga merasa berhak memahami orang asing di seberang meja ini? Yang saya tahu, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sama seperti korek api itu, pikirannya menyala sebentar, lalu padam sebelum sempat menghangatkan apa pun.
Dan entah bagaimana, saya melihat diri saya sendiri di sana.