Member-only story
Manusia dan Kebiasaan Menghilang
Mengapa kita lebih memilih diam daripada memberi akhir yang pantas?
Ada satu kebiasaan manusia yang selalu membuat saya bertanya-tanya: menghilang. Bukan sekadar pergi, bukan juga berpamitan dengan elegan. Tapi menghilang — seperti kabut yang lenyap saat matahari terbit, seperti pesan yang tak lagi berbalas, seperti seseorang yang dulu begitu dekat, tiba-tiba menjadi asing tanpa alasan yang pernah dijelaskan.
Sebelum menulis ini, saya menatap layar ponsel, membaca ulang percakapan yang dulu terasa begitu akrab. Lalu, entah kapan tepatnya, komunikasi itu memudar, sampai akhirnya saya hanya menatap layar kosong, bertanya-tanya apakah saya melakukan sesuatu yang salah. Tapi di satu titik, saya sadar: mungkin ini bukan tentang saya. Mungkin ini memang cara manusia bertahan — menghilang sebelum ia sendiri yang ditinggalkan lebih dulu.
Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini.
Saya ingat bagaimana saya juga pernah menghilang. Dari beberapa orang. Dari situasi yang membuat saya tak nyaman. Saya menunda balasan pesan, berharap orang itu paham bahwa saya tak ingin berbicara. Saya mencari-cari alasan untuk tidak hadir dalam pertemuan yang seharusnya terjadi. Saya menarik diri, perlahan, hingga akhirnya menjadi samar di hidup mereka. Saya sadar, juga melakukan hal…