Member-only story

Melbourne Classic

Gaya hidup urban yang terasa bebas, tapi diam-diam menyesuaikan!

3 min readApr 20, 2025

--

Chasin’ a brew, found the one

Kadang saya duduk di bangku taman dekat Federation Square sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin karena angin sore melabrak tanpa aba-aba.

Di hadapan saya, lalu-lalang manusia. Beberapa dari mereka — sebenarnya — berpakaian seperti baru keluar dari lemari yang sama: jaket hitam, sneakers putih, tote bag dari linen, dan wajah yang dilukis netral.

Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini.

Melbourne Classic, begitulah sebutannya. Sekilas terdengar seperti menu kopi favorit atau rilisan jazz tahun 60-an, padahal maknanya bisa ke mana-mana.

Buat sebagian orang, itu adalah gaya berpakaian yang khas. Buat sebagian lainnya, itu adalah cara semesta Melbourne bercanda soal cuaca. Dua-duanya menarik. Tapi dua-duanya juga menggelikan, kalau dipikir lebih dalam.

Seragam Hitam di Kota

Saya tidak anti gaya. Tapi gaya yang terlalu sama akan selalu mencurigakan. Melbourne Classic dalam dunia fashion — kalau itu bisa disebut dunia — selalu kembali ke hal-hal yang minimalis, muted, dan nyaris tak berwarna.

Jaket hitam adalah default setting. Kalau warnanya bukan hitam, ya abu-abu. Kalau pun bermotif, pasti stripe…

--

--

Phillocaliste
Phillocaliste

Written by Phillocaliste

A person who talks to themselves without a sound, weaving thoughts into words.

Responses (2)