Member-only story
Ratu dan Rakyatnya: Suara Gaib di Kelas Sastra Indonesia
Belajar Bahasa Indonesia Baku di Kerajaan
Beberapa tahun yang lalu.
Pagi itu, saya melangkah ke ruang kelas dengan semangat seperti seorang raja yang hendak menyampaikan titah kepada rakyatnya. Bedanya, saya bukan raja, tetapi Ratu. Dan rakyat saya? Para siswa yang sedang belajar di bawah naungan kelas sastra Indonesia.
“Selamat pagi, rakyat-rakyatku,” sapaku dengan senyum penuh wibawa.
“Selamat pagi, Bunda Ratu,” jawab mereka serempak, dengan nada yang — saya yakin — diiringi tawa kecil di ujung kalimat.
Mungkin terdengar aneh, bukan? Di Jawa Timur yang kental dengan bahasa Jawa, saya justru menegaskan aturan bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, hanya bahasa Indonesia baku yang boleh digunakan. Kami bahkan sepakat: jika ada yang berbicara dalam bahasa Jawa, itu adalah “suara gaib” yang tidak perlu ditanggapi. Kesepakatan ini sudah menjadi tradisi kecil di kelas kami, tradisi yang tidak hanya mendidik tetapi juga memicu tawa dan kebersamaan.
Setiap pertemuan, saya selalu memberikan tema yang berbeda. Hari ini, tema kelas kami adalah tentang kerajaan. Dengan penuh percaya diri, saya duduk di meja depan, yang tiba-tiba berubah menjadi singgasana. Saya membayangkan diri saya seorang Ratu…