Member-only story
Sepakat Bukan Berarti Memahami
Saat percakapan hanya jadi ajang mengangguk tanpa makna
“Iya, paham.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut saya, meskipun sebenarnya… saya tidak benar-benar paham. Padahal di kepala saya ada monolog panjang yang mempertanyakan, “Ini maksudnya gimana ya?” Banyak sekali yang sliweran di otak saya.
Barangkali saat itu saya hanya tidak ingin ada percakapan yang panjang. Mungkin karena saya lelah atau hal lain yang tidak saya mengerti. Tetapi saya mulai menyadari sesuatu bahwa kita sering kali tidak benar-benar memahami satu sama lain. Kita hanya kebetulan sepakat.
Beberapa waktu lalu, saya duduk di kedai kopi, mendengar dua orang berbicara tentang politik. Dari kejauhan, percakapan mereka terdengar seperti orang yang sependapat. “Iya, iya,” kata yang satu. “Persis, persis,” balas yang lain. Mereka tertawa, mengangguk, dan sesekali memukul meja dengan semangat. Saya kira mereka sedang bertukar gagasan yang mendalam. Tapi ketika saya mendekat dan mendengarkan, saya sadar bahwa isi percakapan mereka sebenarnya kosong. Hanya dua orang yang kebetulan memiliki musuh bersama dan merasa perlu bersatu dalam persetujuan yang fana.
Ini bukan pertama kalinya saya menyaksikan hal semacam itu. Sering kali, dalam obrolan sehari-hari, kita merasa sudah memahami…