Photo by Hennie Stander on Unsplash

Member-only story

Sumur Tua dalam Norwegian Wood

Phillocaliste
3 min readFeb 14, 2025

--

Ada sesuatu yang saya sukai dari buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami tentang sumur tua. Sebuah lubang gelap di antara rerumputan, tanpa tanda-tanda keberadaannya. Orang-orang yang jatuh ke dalamnya tidak pernah ditemukan, terperangkap di kedalaman yang tak terukur, di antara gelap dan lembab, hanya mampu melihat seberkas kecil cahaya seperti bulan di musim dingin. Tak ada suara yang bisa keluar, tak ada pertolongan yang datang. Mereka yang jatuh, tetap jatuh.

Saya tidak percaya sumur itu nyata dalam arti fisiknya. Sumur itu lebih seperti sesuatu yang kita bawa di dalam diri, tempat di mana kenangan dan kesedihan mengendap seperti air yang tak pernah surut. Murakami tidak sekadar menggambarkan sebuah lubang di tanah — ia berbicara tentang kehampaan, tentang perasaan terperangkap dalam ruang sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun. Ini bukan hanya soal kehilangan, tetapi bagaimana kita menghadapi kehilangan itu. Seperti Naoko yang terus-menerus dikejar masa lalunya, atau Watanabe yang berjalan dalam kabut perasaan, sumur itu ada di dalam mereka, seperti ada di dalam diri kita.

Kita semua memiliki sumur sendiri. Ruang yang tersembunyi di dalam kepala kita, yang tak bisa kita jelaskan sepenuhnya kepada siapa pun. Sebagian dari kita pernah berdiri di tepinya, menatap ke dalam, mencoba mengukur kedalaman perasaan yang tidak kita pahami. Sebagian lainnya telah jatuh, tanpa tahu bagaimana cara keluar. Kadang, yang kita lihat hanyalah dinding-dinding gelap yang semakin menyempit, suara kita sendiri yang menggema tanpa jawaban. Dan di atas sana, di kejauhan, hanya ada bulatan kecil cahaya yang terasa lebih seperti ilusi daripada harapan.

“Apa yang terjadi jika kita jatuh ke dalamnya?” tanya Murakami lewat karakter-karakternya. “Kalau kita langsung mati, mungkin tak apa. Tapi kalau hanya keseleo? Repot sekali. Bukankah itu cara mati yang mengenaskan?”

Ada sesuatu yang getir dari pernyataan itu. Seakan-akan yang paling menakutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kesadaran bahwa kita masih hidup di dalam keterasingan itu. Bahwa kita harus terus merangkak, mencoba memanjat dinding licin tanpa pegangan, berteriak meski tak ada yang mendengar. Kesepian yang tak bernama, penderitaan yang tak terlihat.

--

--

Phillocaliste
Phillocaliste

Written by Phillocaliste

A person who talks to themselves without a sound, weaving thoughts into words.

No responses yet