Member-only story
Mereka Pikir ‘Aku Tak Waras'
Ada sesuatu yang tak mereka dengar, ada sesuatu yang mereka lihat. Dan diantara keduanya, ada aku yang tak terlihat.
Tengah malam, setelah melewati pintu berat yang bergemerincing, aku disambut oleh dinginnya lantai. Lampu-lampu neon putih menyinari lorong-lorong yang sepi, bayanganku terlihat samar dan terdistorsi di dinding yang dingin. Bunyi langkah perawat yang berderap dengan cepat, suara pintu yang berderit, dan bisikan-bisikan pasien lain membentuk nyanyian suram yang menemaniku.
Aku masuk dalam sebuah ruang, ranjang besi dengan seprai putih tampak menunggu untuk menelan tubuhku yang rapuh. Aku duduk di sudut, memeluk lutut sambil menatap jendela yang tertutup jeruji besi. Hanya kegelapan di luar sana, seolah dunia telah melupakan eksistensiku. Dingin merayap naik dari lantai, menembus kulitku hingga menusuk ke tulang.
Tanganku bergetar ketika aku memandang bekas luka yang masih baru. Setiap goresnya adalah jeritan yang tak terdengar. Sementra darah yang mengering adalah saksi bisu dari pergulatan batinku yang tak kunjung usai. Aku mencoba untuk merasakan sesuatu, apa saja, tapi yang ada hanya kehampaan yang semakin membesar.
Kepalaku penuh dengan suara-suara yang bertentangan. Mereka mengisi ruang-ruang kosong di pikiranku, menciptakan labirin yang tidak ada ujungnya. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tersangkut di tenggorokan. Aku ingin menangis, tetapi air mata telah kering, meninggalkan mata yang kosong, tatapan yang hampa.
Waktu berjalan lambat. Perawat masuk, memeriksa tanda-tanda vitalku dengan tatapan yang penuh simpati. Namun, simpati mereka terasa seperti cermin, memantulkan ketidakberdayaanku kembali padaku. Aku hanyalah seorang pasien di antara banyak lainnya, hanya satu nama di antara banyak nama yang terlupakan.
Selamat istirahat.