Member-only story
Terima Kasih pada yang Tak Bernyawa
Mengenal budaya Jepang mono no aware
Jakarta selalu punya cara membuat siapa pun ingin menyerah, terutama di jam pulang kantor. Macet di segala arah, klakson bersahut-sahutan, dan udara yang lengket seperti amarah yang tertahan.
Sore itu, alih-alih melanjutkan perjalanan yang membuat dada sesak, saya memutuskan menepi. Masuk ke sebuah coffee shop yang tampak seperti pelarian sunyi di tengah kekacauan.
Saya duduk di kursi kayu, memesan hot latte, dan meletakkan ponsel begitu saja. Tanpa niat memeriksa pesan atau update media sosial. Saya hanya ingin duduk. Diam. Menghirup aroma kopi dan membiarkan waktu mengalir tanpa tekanan.
Dan entah dari mana datangnya, saya membatin pelan, “Terima kasih, kopi. Terima kasih, kursi. Terima kasih, meja.”
Kalimat itu terdengar bodoh dalam kepala saya sendiri. Tapi juga jujur. Ada ketenangan aneh yang hadir saat saya mengucapkannya. Seolah tubuh dan pikiran saya kembali terhubung.
Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini.
Mengucap Terima Kasih pada yang Tak Bernyawa
Kebiasaan mengucapkan terima kasih pada benda mati mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi tidak di Jepang. Di sana, orang-orang…