Member-only story

OPINI

Mengkapitalisasi Kesedihan

Batas Tipis antara Ekspresi dan Eksploitasi

Phillocaliste

--

Photo by Borja Verbena on Unsplash

Ada satu hal yang sering membuat saya berpikir: kenapa kesedihan terasa lebih mudah diingat? Kenapa kita sering merasa lebih terhubung dengan cerita yang mengandung luka, kehilangan, atau kegagalan? Bahkan, banyak dari kita — sadar atau tidak — menjadikan kesedihan sebagai bahan bakar untuk berkarya, bercerita, atau sekadar membangun citra diri. Apakah ini bentuk ekspresi yang tulus, atau justru eksploitasi diri sendiri?

Belum menjadi member Medium? Baca selengkapnya di sini

Kesedihan yang Dijual

Kesedihan bukan hanya perasaan yang kita alami dalam sunyi. Ia sering kali menjadi sesuatu yang bisa “dijual.” Saya melihatnya dalam sastra — Sylvia Plath dengan The Bell Jar, Ernest Hemingway dengan kegetiran dalam setiap tulisannya, atau bahkan Vincent van Gogh yang menuangkan luka batinnya ke dalam lukisan.

Tapi hari ini, kesedihan bukan hanya milik seniman besar. Kita semua bisa menampilkannya dalam bentuk lain: unggahan melankolis di media sosial, curahan hati dalam tulisan, atau bahkan branding diri sebagai seseorang yang selalu “terluka.”

Saya sendiri pernah — dengan atau tanpa sadar melakukannya. Menulis sesuatu yang terdengar lebih “dalam” dan…

--

--

Responses (8)